Beberapa pucuk meriam yang ada di Kota Gunungsitoli adalah bukti peninggalan masuknya Suku Aceh dan Minang di Pulau Nias. Meriam - meriam itu saat ini ada di 3 tempat. Di Kota gunungsitoli, Pulau Nias, Sumut terdapat sebuah tempat yang disebut dengan simpang meriam. Penamaan itu diberikan karena tepat dipersimpangan ada sebuah tugu dengan 6 meriam tersusun rapi.
Tahun 2018 yang lalu, tugu ini di pugar untuk menyesuaikan ketinggiannya dengan jalan, karena tugu yang sebelumnya semakin terlihat pendek, disebabkan jalan semakin tinggi. Meriam-meriam itu pada masanya didatangkan dari luar Pulau Nias.
Meriam tersebut dibawa oleh Datuk Ahmad dari Padang Panjang, Sumatera Barat. Datuk ahmad diketahui seorang bangsawan minang yang pada masa itu berlayar dari Sumatera Barat dengan tujuan Aceh Barat untuk berdagang, dari penuturan lain tujuannya ke Aceh Barat untuk mencari saudara laki-laki ibunya (mamak) yang telah lama berlayar ke negeri aceh. Dalam pelayaran itu, Datuk Ahmad membawa persenjataan, termasuk beberapa pucuk meriam.
Saat melintasi perairan sekitar pulau nias sekitar tahun 1690, pelayaran kapal layar (picalang) Datuk Ahmad terganggu akibat badai. Sehingga kapal dibawa berlabuh disekitar teluk belukar, afia. Perlabuhan itu pada akhirnya membuat Datuk Ahmad mendapatkan permintaan dari pemimpin di sekitar wilayah gunungsitoli (Balugu) untuk menetap di pulau nias. Dengan tujuan untuk membantu melawan serangan bajak laut yang semakin merajalela diwilayah pesisir pulau nias saat itu.
Akhirnya Datuk Ahmad membuat kesepakatan kerjasama dengan para pemimpin wilayah itu untuk membantu pengamanan wilayah pesisir dan menetaplah dia di Pulau Nias. Datuk Ahmad pun menikahi putri dari Teuku Polem yaitu Siti Zohora. Meriam yang dibawa Datuk Ahmad tadi dipergunakanlah sebagai senjata untuk benteng pertahanan yang dibangun oleh Datuk Maharaja lelo pada tahun 1775.
Lalu tahun 1952 meriam-meriam itu dibuatkan menjadi tugu oleh seorang kepala desa atas nama Zakaria Baginda.
Dari sumber lain yang mengaku keturunan datuk ahmad dengan mengirimkan bukti stambuk keturunannya mengatakan bahwa berdasarkan cerita dari orang-orang tua mereka. Meriam itu adalah hadiah dari Tuanku Polem kepada Datuk Raja Ahmad yang telah menikahi putrinya.
Sejak itulah tugu dengan 6 meriam tersebut menjadi saksi bisu pembangunan Kota Gunungsitoli.
Mesjid Jami Al-Khaerat, Mudik, Kota Gunungsitoli |
Selain meriam yang dijadikan tugu sekaligus penanda nama tempat tersebut. Meriam lain yang berasal dari satu sumber berada di halaman Mesjid Jami Al-Khaerat, Mudik dan Pendopo Bupati Nias.
Dua meriam tersebut dibawa dari aceh pada tahun 1691 saat Simeugang dan Acah Harefa kembali ke Nias setelah dijemput oleh Adek Ipar Simeugang yakni Datuk Ahmad. Simeugang adalah anak pertama dari Teuku Polem. Datuk Ahmad yang dimaksud adalah Datuk Ahmad yang sudah saya tuliskan diatas.
Meriam di halaman Mesjid Jami Al-Khaerat |
Teuku Polem menetap di Nias sekitar tahun 1642 setelah pergi meninggalkan tempat kelahirannya yaitu aceh. Dua meriam yang dibawa tersebut juga merupakan kenang-kenangan peninggalan dari Kakek Teuku Polem, yaitu Teuku Cik.
Jika kita lihat pada dudukan meriam yang ada di mudik tersebut dibagian depannya tertulis R T Polem Atjeh XXVI 639 Masehi dan dibagian sampingnya tertulis, Moedik 10 April 1939.
Pendopo Bupati Nias |
Dengan demikian, merunut tulisan diatas bahwa kepemilikan meriam di Gunungsitoli memiliki ikatan kekerabatan yang sangat dekat. Meski keduanya berasal dari daerah yang berbeda, yakni aceh dan minang. Namun kekerabatan tersebut terbangun dengan ikatan perkawinan Datuk Ahmad dengan Siti Zohora yang merupakan adek kandung dari Simeugang. Datuk Ahmad membawa meriam dari Minang dan Simeugang membawa meriam dari Aceh.
Adapun sumber tulisan berasal dari buku berjudul "tuturan tiga sosok nias" dan ditambahi sumber lain dengan interprestasi penulis yang bertujuan mengali sejarah terkait hal tersebut.
22 Komentar
Ada juga peninggalan orang minang dan aceh di tanah Nias.. ini yang harus terus dijaga dan dipupuk.. sehingga semakin membuktikan semangat persatuan kita dari dulu sudah ada
BalasHapusYa, benar sekali. Ini bukti bahwa kehidupan bermasyarakat itu sudah lama saling terbuka
HapusMemang kita harus sedikit banyak tahu tentang sejarah jika suatu saat pergi mengajak teman maupun kerabat berkunjung ke suatu tempat.
BalasHapusRasanya wajib ya, untum tahu hal-hal menarik dimana tempat kita tinggal
HapusAku suka ini, suatu daerah memertahankan riwayat kesejarahan daerah melalui benda-benda. Unik...
BalasHapusSemoga saja, bisa tetap dipertahankan
HapusMasyaAllah, dari sebuah meriam saja kita jai bisa belajar sejarah tentang masa lampau ya bang. Suka dengan cerita-cerita begini. Semoga peninggalan ini terus terpelihara.
BalasHapusSetiap benda sejarah tentu punya kisahnya tersendiri
HapusSemoga suatu waktu dapat berkunjung dan melihat secara langsung peninggalan sejarah yabg diceritakan.
BalasHapusSelalu suka sejarah. Terima kasih infonya. Punya temen di Nias.
BalasHapusMeriam umum dikaitkan dg bangsa barat, padahal ada bukti bahwa pada saat portugis datang ke Malaka, orang Malaka sudah menggunakan meriam buatan Pulau Jawa.
BalasHapusNah apakah orang barat yg membawa meriam ke Indonesia? Atau justru teknologi meriam adalah dari Indonesia.
Hehe
Perlu penelitian setidaknya kajian literasi mendalam tuh
HapusOrang Nias juga banyak tinggal di Sumatera Barat bang. Salah satunya sahabat saya dengan keluarg besarnya, Keluarga Besar Zebua. Mereka semua berasal dari Pulau Nias.
BalasHapusWah bisa jadi refrensi untuk bikin cerpen historical fiction berikutnya ini kak. Thanks for sharing.
BalasHapusKalau sudah jadi berkabar ya
HapusSelalu suka dengn peninggalan sejarah apakah itu bangunan tua, meriam atau situs..melihatnya apalagi mendengar ceritanya seperti masuk ke lorong waktu..btw daya jangkau tembakan meriam nih brp meter ya?
BalasHapusPengetahuan sejarah seperti ini penting untuk diceritakan turun temurun, agar anak cucu tau. Ini kalo membaca tulisan ini pun gak bakal tau saya ada meriam peninggalan di Nias.
BalasHapusOo.. berarti ada hubungan antara sumatera barat dengan Aceh melalui Datuk Ahmad ini ya bang. Pantesan aja ada suku di Aceh yang pake bahasa mirip Padang.
BalasHapusMenarik. Sering banget lihat penginggalan-peninggalan meriam di ebberapa tempat wisata. Bagus soalnya masih dirawat hingga sekarang
BalasHapusSebagai orang Minang. Sepertinya bacaan ini cukup membuka pandangan saya.
BalasHapusBahwa dari dulu ternyata sudah ada keterikatan yang unik antara Minang, Nias dan Aceh.
Membuktikan bahwa semangat gotong royong dan persahabatan sudah terpupuk dari dulu ya.
Semoga ada kebaikan dalam kisah ini. Makasi Bang ulasannya.
Sebagai orang Minang saya baru tahu kalau ada peninggalan atau bukti sejarah pendahulu kami di tanah Nias. Semoga itu menjadi perekat persahabatan, meski berbeda suku, kita tetap satu dalam bingkai kebangsaan.
BalasHapusKekerabatan Melayu sampai juga di Nias ya. Teman kuliah saya ada yang dari Gunungsitoli juga. Semoga kekerabatan itu tetap terjaga dengan dijaganya aset sejarah.
BalasHapus